Khalifah Islam
Khalifah
Khalifah (Arab:خليفة Khalīfah) adalah gelar yang diberikan untuk
pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Dalam
sejarah, istilah Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu'minīn
(أمير المؤمنين) atau "pemimpin orang yang beriman", atau "pemimpin
orang-orang mukmin", dan kadang-kadang penyebutannya disingkat hanya
"amir" saja.
Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kepemimpinan umat Islam / Kekhalifahan dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Kesultanan Utsmaniyah, dan beberapa negara kecil dibawah kekhilafahan. Kekhilafahan dalam sejarahnya berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika Utara, dan Mesir.
Khalifah berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan negara maupun urusan agama. Di era Khulafaur Rasyidin mekanisme pemilihan khalifah tidak memiliki prosedur yang baku, tercatat pemilihan khalifah pernah dilakukan dengan wasiat dan pernah juga dengan majelis Syura' yang merupakan majelis Ahlul Halli wal Aqdi yakni para ahli ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Tetapi untuk mekanisme pengangkatannya semuanya dilakukan dengan cara bai'at yang merupakan perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.
Khalifah memimpin sebuah Khilafah, yaitu sebuah sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi, sedangkan undang-undangnya dibuat dengan menggunakan Al-Quran, Hadist, Ijma dan Qiyas sebagai sumber dan acuannya.
Jabatan dan pemerintahan kekhalifahan terakhir, yaitu kekhalifahan Utsmani berakhir dan dibubarkan dengan pendirian Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki, yang kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of Religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah.
Setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), kepemimpinan umat Islam / Kekhalifahan dipegang berturut-turut oleh Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, dan Kesultanan Utsmaniyah, dan beberapa negara kecil dibawah kekhilafahan. Kekhilafahan dalam sejarahnya berhasil meluaskan kekuasaannya sampai ke Spanyol, Afrika Utara, dan Mesir.
Khalifah berperan sebagai pemimpin ummat baik urusan negara maupun urusan agama. Di era Khulafaur Rasyidin mekanisme pemilihan khalifah tidak memiliki prosedur yang baku, tercatat pemilihan khalifah pernah dilakukan dengan wasiat dan pernah juga dengan majelis Syura' yang merupakan majelis Ahlul Halli wal Aqdi yakni para ahli ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Tetapi untuk mekanisme pengangkatannya semuanya dilakukan dengan cara bai'at yang merupakan perjanjian setia antara Khalifah dengan ummat.
Khalifah memimpin sebuah Khilafah, yaitu sebuah sistem kepemimpinan umat, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi, sedangkan undang-undangnya dibuat dengan menggunakan Al-Quran, Hadist, Ijma dan Qiyas sebagai sumber dan acuannya.
Jabatan dan pemerintahan kekhalifahan terakhir, yaitu kekhalifahan Utsmani berakhir dan dibubarkan dengan pendirian Republik Turki pada tanggal 3 Maret 1924 ditandai dengan pengambilalihan kekuasaan dan wilayah kekhalifahan oleh Majelis Besar Nasional Turki, yang kemudian digantikan oleh Kepresidenan Masalah Keagamaan (The Presidency of Religious Affairs) atau sering disebut sebagai Diyainah.
Etimologi
Secara etimologi kata "Khalifah" dapat diterjemahkan sebagai "pengganti"
atau "perwakilan". Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum disebut dan
ditugaskan sebagai khalifah Allah di muka bumi untuk merawat dan
memberdayakan bumi beserta isinya.
Sedangkan istilah khalifah secara khusus memiliki arti sebagai pengganti
Nabi Muhammad SAW sebagai Imam umatnya, dan secara kondisional juga
menggantikannya sebagai penguasa sebuah entitas kedaulatan Islam sebagai
sebuah negara. Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad SAW selain sebagai
Nabi dan Rasul juga sebagai Imam, Penguasa, Panglima Perang, dan lain
sebagainya.
Sejarah Kelahiran Kekhalifahan Islam
Kebanyakan akademisi menyetujui bahwa Nabi Muhammad SAW tidak secara
langsung menyarankan atau memerintahkan pembentukan kekhalifahan Islam
setelah kematiannya. Akan tetapi dalil Al-Qur'an dan Hadis secara jelas
mengindikasikan pembentukan suatu kepemimpinan untuk ummat Islam.
Permasalahan yang dihadapi ketika itu adalah: siapa yang akan
menggantikan Nabi Muhammad, dan sebesar apa kekuasaan yang akan
didapatkannya?
Pengganti Nabi Muhammad SAW
Fred M. Donner, dalam bukunya The Early Islamic Conquests (1981),
berpendapat bahwa kebiasaan bangsa Arab ketika itu adalah untuk
mengumpulkan para tokoh masyarakat dari suatu keluarga (bani dalam
bahasa arab), atau suku, untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin dari
salah satu di antara mereka. Tidak ada prosedur spesifik dalam syuro
atau musyawarah ini. Para kandidat biasanya memiliki garis keturunan
dari pemimpin sebelumnya, walaupun hanya merupakan keluarga jauh.
Hingga pada tiba saatnya Nabi Muhammad SAW meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan Islam setelah wafatnya rasul, hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim, namun pada akhirnya dicapai kesepakatan untuk mengangkat Abu Bakar sebagai penerus kepemimpinan Islam sehingga Abu Bakar lah Khalifah pertama umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW.
Namun walau Abu Bakar telah terpilih secara sah sebagai Khalifah, ada beberapa kalangan dari kaum Muslim Mekkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah memberikan banyak indikasi yang menunjukan bahwa Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantunya, sebagai pengganti dirinya kelak jika beliau SAW meninggal. Mereka berpendapat bahwa Abū Bakar merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan[butuh rujukan]. Semua Khalifah sebelum Ali juga dianggap melakukan hal yang sama oleh kalangan ini. Hal inilah yang memicu lahirnya kaum Syiah pada masa kekhalifahan Muawiyah, lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir.
Hingga pada tiba saatnya Nabi Muhammad SAW meninggal, kaum Muslim berdebat tentang siapa yang berhak untuk menjadi penerus kepemimpinan Islam setelah wafatnya rasul, hingga saat ini apa yang dibicarakan di dalam masa tenggang itu masih menjadi kontroversi di kalangan kaum Muslim, namun pada akhirnya dicapai kesepakatan untuk mengangkat Abu Bakar sebagai penerus kepemimpinan Islam sehingga Abu Bakar lah Khalifah pertama umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW.
Namun walau Abu Bakar telah terpilih secara sah sebagai Khalifah, ada beberapa kalangan dari kaum Muslim Mekkah dan Madinah saat itu meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW telah memberikan banyak indikasi yang menunjukan bahwa Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantunya, sebagai pengganti dirinya kelak jika beliau SAW meninggal. Mereka berpendapat bahwa Abū Bakar merebut kekuasaan dengan kekuatan dan kelicikan[butuh rujukan]. Semua Khalifah sebelum Ali juga dianggap melakukan hal yang sama oleh kalangan ini. Hal inilah yang memicu lahirnya kaum Syiah pada masa kekhalifahan Muawiyah, lebih tepatnya setelah masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib berakhir.
Kekuasaan Khalifah
Persoalan "Siapa yang akan menggantikan Nabi Muhammad SAW" bukanlah
satu-satunya masalah yang dihadapi umat Islam pada saat itu. Mereka juga
perlu mengklarifikasi seberapa besar kekuasaan pengganti Nabi Muhammad
SAW. Muhammad SAW selama masa hidupnya, tidak hanya berperan sebagai
pemimpin umat islam, tetapi sebagai nabi dan pemberi keputusan untuk
umat Islam. Semua hukum dan praktik spiritual ditentukan sesuai dengan
yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. Musyawarah dilakukan pada persoalan
ini untuk menentukan seberapa besar kekuasaan seorang Khalifah.
Tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah, karena Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi, tidak satu pun di antara mereka yang menyebut diri mereka sendiri sebagai nabī atau rasul. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi Al-quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadis, dan kekuasaannya pun dibatasi oleh Al-Qur'an dan Hadis.
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam al-Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.[butuh rujukan] Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama.[butuh rujukan] Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan pandangan yang berlebihan kepada para imam, tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua ilmuwan setuju akan hal ini.
Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat Khalifah pertama sebagai Khulafa'ur Rosyidin, Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan syariat.
Tidak satu pun dari para khalifah yang mendapatkan wahyu dari Allah, karena Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan penyampai wahyu terakhir di muka bumi, tidak satu pun di antara mereka yang menyebut diri mereka sendiri sebagai nabī atau rasul. Untuk mengatasinya, wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad kemudian ditulis dan dikumpulkan menjadi Al-quran, dijadikan patokan dan sumber utama hukum Islam, dan menjadi batas kekuasaan khalifah Islam. Artinya, Khalifah adalah seseorang pemimpin yang tunduk pada Al-Qur'an dan Hadis, dan kekuasaannya pun dibatasi oleh Al-Qur'an dan Hadis.
Bagaimanapun, ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyai otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam al-Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan "kepatuhan kepada khalifah" sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God's Caliph, menggarisbawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Kaum Muslim beranggapan bahwa ulama sama berhaknya menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat, sesuai dengan hadis yang menyebutkan bahwa suatu kaum akan ditinggalkan oleh Allah ketika mereka meninggalkan para ulama. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan perdebatan di antara keduanya. Perselisihan pendapat antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam beberapa bagian sejarah kekhalifahan Islam. Namun akhirnya, konflik ini berakhir dengan kemenangan para ulama.[butuh rujukan] Kekuasaan Khalifah selanjutnya menjadi terbatas pada hal yang bersifat keduniawian. Khalifah hanya dapat dianggap menjadi "Khalifah yang benar" apabila ia menjalankan saran spiritual para ulama.[butuh rujukan] Patricia Crone dan Martin Hinds juga berpendapat bahwa muslim Syiah, dengan pandangan yang berlebihan kepada para imam, tetap menjaga kepercayaan murni umat islam, namun tidak semua ilmuwan setuju akan hal ini.
Kebanyakan Muslim Sunni saat ini mempercayai bahwa para khalifah tidak selamanya hanya menjadi pemimpin masalah duniawi, dan ulama sepenuhnya bertanggung jawab atas arah spiritual umat islam dan hukum syariah umat islam. Mereka menyebut empat Khalifah pertama sebagai Khulafa'ur Rosyidin, Khalifah yang diberi petunjuk, karena mereka menjalankan dan berpegang pada hukum yang terdapat pada Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad dalam segala hal. Mereka juga mempercayai bahwa sekali khalifah dipilih untuk memimpin, maka sepanjang hidupnya ia akan memerintah kecuali jika ia keluar dari aturan syariat.
Fungsi dan Peran Khalifah
Telah jelas bahwa fungsi dan peran khalifah sebagai pengganti
Rasulullah sebagai Imam bagi umatnya. Maka bagi penggantinya pun berlaku
fungsi dan wewenang yang sama kecuali urusan otoritas Rasulullah
sebagai Nabi dan Rasul. Kekuasaan duniawi Rasul sebelum wafat adalah
berperan sebagai Hakim (penguasa) Negara Madinah dan sebagai Ketua
Persekutuan Islam Arabia. Jadi, secara politik hubungan Nabi dengan
beberapa suku bangsa dan kota-kota Arab luar Madinah waktu itu adalah
hubungan persekutuan, bukan hubungan penguasa dengan taklukkannya.
Sedangkan secara keumatan, Nabi adalah sebagai Imam atau Pemimpin
Tertinggi Umat Islam. Dua fungsi sebagai Imam dan Ketua Persekutuan
Islam Arab inilah yang diwarisi Abu Bakar sebagai Khalifahnya. Jadi,
kekuasaan yang diterima Abu Bakar tidaklah satu paket seperti yang
disangkakan orang selama ini, melainkan terdiri dari dua unsur, yaitu
unsur keimaman (kedudukan sebagai Imam Umat Islam) dan unsur kekuasaan
(kedudukan sebagai penguasa Madinah dan Ketua Persekutuan). Unsur yang
pasti adalah unsur keimaman, sedangkan unsur kekuasaan adalah unsur
kondisional. Unsur kondisional maksudnya adalah dibaiatnya seorang
khalifah tidaklah mempersyaratkan atau memberikan kedudukan sebagai
penguasa sebuah negara berdaulat, tergantung kondisional apakah kondisi
umat saat itu memiliki negara atau tidak.
Jadi jika seandainya Rasulullah saat wafat tidak memiliki unsur
kekuasaan dan hanya unsur keimaman saja, maka khalifahnya mewarisi hal
yang serupa. Tapi Allah berkehendak bahwa umat Islam ini selain sebagai
sebuah umat juga sebagai sebuah peradaban yang di mana peradabannya
tersebut dijaga oleh sebuah entitas berdaulat. Namun tampaknya berbeda
dengan keadaan di akhir zaman di mana Imam Mahdi akan menerima baiatnya
dalam keadaan tidak mempunyai kekuasaan apa-apa. Maksudnya saat Imam
Mahdi dibaiat nanti hanya akan menerima unsur keimaman saja, sedangkan
unsur kekuasaan akan didapatkan melalui beberapa peperangan akhir zaman.
Begitulah menurut beberapa keterangan dari Hadits Shahih.
Jadi pemaksaan pengertian bahwa Khilafah Islamiyyah haruslah
berbentuk sebuah Negara Islam Kesatuan bukanlah maksud asal didirikannya
khilafah ini oleh para sahabat. Bukti bahwa hubungan antara suku-suku
Islam Arab dengan Madinah yang berbentuk persekutuan (federasi) kemudian
diubah oleh Abu Bakar menjadi sebuah kekuasaan imperium merupakan bukti
bahwa unsur kekuasaan dalam kekhalifahan ini sifatnya luwes asal
memenuhi syarat sebagai sebuah Negara Islam, karena unsur kekuasaan ini
sifatnya urusan duniawi yang secara syar'i tidak diatur. Sedanagkan
unsur keimaman sifatnya fixed dan tak dapat diganggu gugat.
Karakter Kepemimpinan Kekhalifahan Islam
Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa karakter pemimpin Islam ialah menganggap
bahwa otoritas dan kekuasaan yang dimilikinya adalah sebuah kepercayaan
(amanah) dari umat Islam dan bukan kekuasaan yang mutlak dan absolut.
Hal ini didasarkan pada hadist yang berbunyi:
"It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well."
Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu dimana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.[1]
Peranan seorang khalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
"It (sovereignty) is a trust, and on the Day of Judgment it will be a thing of sorrow and humiliation except for those who were deserving of it and did well."
Hal ini sangat kontras dengan keadaan Eropa saat itu dimana kekuasaan raja sangat absolut dan mutlak.[1]
Peranan seorang khalifah telah ditulis dalam banyak sekali literatur oleh teolog islam. Imam Najm al-Din al-Nasafi menggambarkan khalifah sebagai berikut:
"Umat Islam tidak berdaya tanpa seorang pemimpin (imam, dalam hal ini khalifah) yang dapat memimpin mereka untuk menentukan keputusan, memelihara dan menjaga daerah perbatasan, memperkuat angkatan bersenjata (untuk pertahanan negara), menerima zakat mereka (untuk kemudian dibagikan), menurunkan tingkat perampokan dan pencurian, menjaga ibadah di hari jumat (salat jumat) dan hari raya, menghilangkan perselisihan di antara sesama, menghakimi dengan adil, menikahkan wanita yang tak memiliki wali. Sebuah keharusan bagi pemimpin untuk terbuka dan berbicara di depan orang yang dipimpinnya, tidak bersembunyi dan jauh dari rakyatnya.
Ia sebaiknya berasal dari kaum Quraish dan bukan kaum lainnya, tetapi tidak harus dikhususkan untuk Bani Hasyim atau anak-anak Ali. Pemimpin bukanlah seseorang yang suci dari dosa, dan bukan pula seorang yang paling jenius pada masanya, tetapi ia adalah seorang yang memiliki kemampuan administratif dan memerintah, mampu dan tegas dalam mengeluarkan keputusan dan mampu menjaga hukum-hukum Islam untuk melindungi orang-orang yang terzalimi. Dan mampu memimpin dengan arif dan demokratif."
Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:
"Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus mempertimbangkan keuntungan untuk kepentingan akhirat. Singkatnya, (Kekhalifahan) pada kenyataannya menggantikan Nabi Muhammad SAW, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia."
Pencabutan Gelar Khalifah
Kebanyakan ulama menolak pencabutan gelar Khalifah apabila sudah
terpilih. Tetapi fakta yang terjadi adalah sebaliknya, banyak
pemberontakan pada masa kekhalifahan, seperti Imam Husain yang melakukan
revolusi di Karbala melawan tirani Yazid atau pengkhianatan Ibnu
al-Zubayr kepada Yazid, untuk kebanyakan bagian telah terbatas
keberadaannya.[2]
Dr. Abdul Aziz Islahi berpendapat dalam masalah ini:
Mengikuti para filsuf Yunani, St. Thomas Aquinas juga menggunakan sudut pandang ini, William Archibald Dunning berkomentar: "Berhubungan dengan aksi-aksi individual dalam menjatuhkan pemerintahan tirani, dia (Aquinas) menemukan bahwa lebih sering orang jahat melakukan pemberontakan dibandingkan orang baik. Karena orang-orang jahat berpendapat bahwa pemerintahan raja-raja tidak kurang beratnya daripada para tiran (raja lalim, penindas), pengakuan hak-hak pribadi warga untuk membunuh para tiran lebih menyangkut lebih besarnya peluang untuk kehilangan seorang raja daripada membebaskan diri dari seorang tiran."
Dr. Abdul Aziz Islahi berpendapat dalam masalah ini:
Mengikuti para filsuf Yunani, St. Thomas Aquinas juga menggunakan sudut pandang ini, William Archibald Dunning berkomentar: "Berhubungan dengan aksi-aksi individual dalam menjatuhkan pemerintahan tirani, dia (Aquinas) menemukan bahwa lebih sering orang jahat melakukan pemberontakan dibandingkan orang baik. Karena orang-orang jahat berpendapat bahwa pemerintahan raja-raja tidak kurang beratnya daripada para tiran (raja lalim, penindas), pengakuan hak-hak pribadi warga untuk membunuh para tiran lebih menyangkut lebih besarnya peluang untuk kehilangan seorang raja daripada membebaskan diri dari seorang tiran."
Sejarah Singkat Kekhalifahan Islam
Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya sebelum kematiannya, kaum
Muslim menerima hal ini tanpa terjadi perdebatan. Pengganti Umar, Utsman
bin Affan, dipilih oleh dewan perwakilan kaum muslim. tetapi kemudian,
Utsman dianggap memimpin seperti seorang "raja" dibandingkan sebagai
seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Utsman pun akhirnya dibunuh
oleh seseorang dari kelompok yang tidak puas. Ali kemudian diangkat oleh
sebagian besar Muslim waktu itu di Madinah untuk menjadi khalifah,
tetapi ia tidak diterima oleh beberapa kelompok muslim. Dia menghadapi
beberapa pemberontakan dan akhirnya terbunuh setelah memimpin selama
lima tahun. Periode ini disebut sebagai "Fitna", atau perang sipil islam
pertama.
Bani Umayyah
Salah satu kelompok penentang ˤAlī adalah kelompok yang dipimpin oleh
Gubernur Syam waktu itu Muawiyah bin Abu Sufyan, yang juga sepupu
Utsman. Setelah kematian Ali, Muawiyah mengambil alih kekuasaan
kekhalifahan. Dia kemudian dikenal dengan nama Muˤāwiyya, pendiri Bani
Umayyah. Dibawah kekuasaan Muˤāwiyya, kekhalifahan dijadikan jabatan
turun-menurun.
Di daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Persia dan Byzantium, bani Umayyah menurunkan pajak, memberikan otonomi daerah dan kebebasan beragama yang lebih besar bagi umat Yahudi dan Kristen, dan berhasil menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda perang selama bertahun-tahun.
Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam berkembang dengan pesat. Di arah barat, umat Muslim menguasai daerah di Afrika Utara sampai ke Spanyol. Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah Iran, bahkan sampai ke India. Hal ini membuat Kekhalifahan Islam menjadi salah satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.
Meskipun begitu, Bani Umayyah tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh umat Islam. Beberapa Muslim lebih mendukung tokoh muslim lainnya seperti Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa hanya mereka yang berasal dari klan Nabi Muhammad, Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali (yang masih sekeluarga dengan Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul beberapa pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu untuk meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada tahun 750. Bagaimanapun, para pendukung Ali lagi-lagi harus menelan kekecewaan ketika ternyata pemimpin kekhalifahan selanjutnya adalah Bani Abbasiyah, yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad, bukan keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas muslim akhirnya terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.
Di daerah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Persia dan Byzantium, bani Umayyah menurunkan pajak, memberikan otonomi daerah dan kebebasan beragama yang lebih besar bagi umat Yahudi dan Kristen, dan berhasil menciptakan kedamaian di daerah tersebut setelah dilanda perang selama bertahun-tahun.
Dibawah kekuasaan Bani Umayyah, kekhalifahan Islam berkembang dengan pesat. Di arah barat, umat Muslim menguasai daerah di Afrika Utara sampai ke Spanyol. Di arah timur, kekhalifahan menguasai daerah Iran, bahkan sampai ke India. Hal ini membuat Kekhalifahan Islam menjadi salah satu di antara sedikit kekaisaran besar dalam sejarah.
Meskipun begitu, Bani Umayyah tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh umat Islam. Beberapa Muslim lebih mendukung tokoh muslim lainnya seperti Ibnu Zubair; sisanya merasa bahwa hanya mereka yang berasal dari klan Nabi Muhammad, Bani Hasyim, atau dari keturunan Ali (yang masih sekeluarga dengan Nabi Muhammad), yang boleh memimpin. Akibatnya, timbul beberapa pemberontakan selama masa kepemimpinan bani umayyah. Pada akhir kekuasaannya, pendukung Bani Hasyim dan pendukung Ali bersatu untuk meruntuhkan kekuasaan Umayyah pada tahun 750. Bagaimanapun, para pendukung Ali lagi-lagi harus menelan kekecewaan ketika ternyata pemimpin kekhalifahan selanjutnya adalah Bani Abbasiyah, yang merupakan keturunan dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman Nabi Muhammad, bukan keturunan Ali. Menanggapi kekecewaan ini, komunitas muslim akhirnya terpecah menjadi komunitas Syiah dan Sunni.
Bani Abbasiyah
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga
abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan
ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada
tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab,
khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh orang Mameluk di Mesir
pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai
memisahkan diri dari kekhalifahan. Meskipun begitu, kekhalifahan tetap
bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syi'ah dari Bani Fatimiyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad SAW, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syi'ah dari Bani Fatimiyah yang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad SAW, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Ummayah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.
Kekhalifahan Bayangan
Pada tahun 1258, pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan berhasil
menguasai Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasyiah, dan mengeksekusi
Khalifah al-Mutasim. Tiga tahun kemudian, sisa-sisa Bani Abbasiyah
membangun lagi sebuah kekhalifahan di Kairo, di bawah perlindungan
Kesultanan Mamluk. Meskipun begitu, otoritas garis keturunan para
khalifah ini dibatasi pada urusan-urusan upacara dan keagamaan, dan para
sejarawan Muslim pada masa-masa sesudahnya menyebut mereka sebagai
"khalifah bayangan".
Kekaisaran Utsmaniyah
Bersamaan dengan bertambah kuatnya Kesultanan Usmaniyah, para
pemimpinnya mulai mengklaim diri mereka sebagai Khalifah. Klaim mereka
ini kemudian bertambah kuat ketika mereka berhasil mengalahkan
Kesultanan Mamluk pada tahun 1517 dan menguasai sebagian besar tanah
Arab. Khalifah Abbasyiah terakhir di Kairo, Al-Mutawakkil III, dipenjara
dan dikirim ke Istambul. Kemudian, dia dipaksa menyerahkan kekuasaannya
ke Selim I.
Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya Mehmed II dan cucunya, Selim, yang menggunakan gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.
Walaupun begitu, banyak Kekaisaran Usmaniyah yang memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Sultan, daripada sebagai Khalifah. Hanya Mehmed II dan cucunya, Selim, yang menggunakan gelar khalifah sebagai pengakuan bahwa mereka adalah pemimpin negara Islam.
Kekaisaran Utsmaniyah
Menurut Barthold, saat dimana gelar Khalifah digunakan untuk kepentingan politik daripada simbol agama untuk pertama kalinya adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Usmaniyah berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan kekaisaran kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi tinggi seperti misalnya daerah Crimea. Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan Abdulhamid I, menyatakan bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam yang berada di wilayah yang kini menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara politik oleh kekuatan Eropa.
Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit namun kekuatan diplomatik dan militer Usmaniyah semakin meningkat. Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II menegaskan kembali status kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Eropa yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim di India, yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada Perang Dunia I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa pada akhir-akhir masa kekuasaannya, menjadi negara yang paling besar dan paling kuat yang pernah ada di dunia.
Menurut Barthold, saat dimana gelar Khalifah digunakan untuk kepentingan politik daripada simbol agama untuk pertama kalinya adalah ketika Kekaisaran Usmaniyah membuat perjanjian damai dengan Rusia pada tahun 1774. Sebelum perjanjian ini dibuat, Kekaisaran Usmaniyah berperang dengan Kekaisaran Kristen Rusia, mengakibatkan kekaisaran kehilangan sebagian besar wilayahnya, termasuk juga memiliki populasi tinggi seperti misalnya daerah Crimea. Dalam surat perjanjian damai dengan Rusia, kekaisaran Usmaniyah, dibawah kepemimpinan Abdulhamid I, menyatakan bahwa mereka akan tetap melindungi umat Islam yang berada di wilayah yang kini menjadi wilayah Rusia. Ini adalah pertama kalinya Kekhalifahan Usmaniyah diakui secara politik oleh kekuatan Eropa.
Sebagai hasilnya, meskipun wilayah kekuasaan Usmaniyah menjadi sempit namun kekuatan diplomatik dan militer Usmaniyah semakin meningkat. Sekitar tahun 1880 Sultan Abdulhamid II menegaskan kembali status kekhalifahannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme Eropa yang semakin menjadi-jadi. Klaimnya ini didukung sepenuhnya oleh Muslim di India, yang ketika itu dalam cengkraman penjajahan Inggris. Pada Perang Dunia I, Kekhalifahan Usmaniyah, dengan mengesampingkan betapa lemahnya mereka dihadapan kekuatan Eropa pada akhir-akhir masa kekuasaannya, menjadi negara yang paling besar dan paling kuat yang pernah ada di dunia.
Keruntuhan Kekhalifahan
Tepatnya pada tanggal 23 Maret 1924, keruntuhan kekhalifahanan terakhir,
Kekhalifahan Turki Usmaniyah, terjadi akibat adanya perseteruan di
antara kaum nasionalis dan agamais dalam masalah kemunduran ekonomi
Turki.
Setelah menguasai Istambul pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada dua pemerintahan saat itu; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan digerogoti korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad, dan beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II terus berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut dengan "Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan "Diyaniah"). Pada tanggal 3 Maret 1924, ia memecat khalifah sekaligus membubarkan sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.
Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan [1]. Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang Turki dan Muslim di dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki kantor pusat di Ankara, Turki.
Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang berhubungan dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah adalah Diyaniah, tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah negara, hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara.
Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Usmaniyah / Ottoman, tetapi tak ada satupun yang berhasil. Hussein bin Ali, seorang gubernur Hejaz pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya pada masa Perang Dunia I serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan tak lama kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir Mehmed VI juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut.
Setelah menguasai Istambul pasca-Perang Dunia I, Inggris menciptakan sebuah kevakuman politik dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan khalifah dan pemerintahannya tersendat. Kekacauan terjadi di dalam negeri, sementara opini umum mulai menyudutkan pemerintahan khalifah yang semakin lemah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada dua pemerintahan saat itu; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha belum berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnya pun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah saat itu, yang telah lemah dan digerogoti korupsi, terintangi; Ia dianggap murtad, dan beberapa kelompok pendukung Sultan Abdul Mejid II terus berusaha mendukung pemerintahannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia kemudian melakukan beberapa langkah kontroversial untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Misalnya, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional (yang kemudian disebut dengan "Kepresidenan Urusan Agama" atau sering disebut dengan "Diyaniah"). Pada tanggal 3 Maret 1924, ia memecat khalifah sekaligus membubarkan sistem kekhalifahan dan menghapuskan hukum Islam dari negara. Hal inilah yang kemudian dianggap sebagai keruntuhan kekhalifahan Islam.
Saat ini, Diyaniah berfungsi sebagai entitas dari lembaga Shaikh al-Islam/Kekhalifahan [1]. Mereka bertugas untuk: "memberikan pelayanan religius kepada orang Turki dan Muslim di dalam dan di luar negara Turki". Diyainah memiliki kantor pusat di Ankara, Turki.
Diyaniah adalah sebuah lembaga yang mewarisi semua sumber-sumber yang berhubungan dengan hal-hal religius dari Kekaisaran Ottoman, termasuk semua arsip kekhalifahan yang telah runtuh tersebut. Saat ini, Diyainah merupakan otoritas tertinggi Muslim Sunni. Diyainah juga memiliki kantor cabang di Eropa (Jerman).
Perbedaan utama antara kekhalifahan dengan Diyainah adalah Diyaniah, tidak seperti kekhalifahan yang mengurusi masalah negara, hanya berfungsi sebagai lembaga keagamaan. Hal ini sesuai dengan prinsip sekularisme Turki yang memisahkan urusan Agama dengan urusan negara.
Sempat muncul keinginan dan gerakan untuk mengendirikan kembali kekhalifahan setelah runtuhnya Kekaisaran Usmaniyah / Ottoman, tetapi tak ada satupun yang berhasil. Hussein bin Ali, seorang gubernur Hejaz pada masa Kekaisaran Ottoman yang pernah membantu Britania raya pada masa Perang Dunia I serta melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Istambul, mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah dua hari setelah keruntuhan Ottoman. Tetapi klaimnya tersebut ditolak, dan tak lama kemudian ia di usir dari tanah Arab. Sultan Ottoman terakhir Mehmed VI juga melakukan hal yang sama untuk mengangkat kembali dirinya sebagai Khalifah di Hejaz, tetapi lagi-lagi usaha tersebut gagal. Sebuah pertemuan diadakan di Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian kembali kekhalifahan. Tetapi, hanya sedikit negara Muslim yang berpartisipasi dan mengimplentasikan hasil dari pertemuan tersebut.
Setelah
hampir satu abad sejak runtuhnya kekhilafahan sebagai wadah pemersatu.
Namun Umat Islam belum kunjung mengangkat seorang Khalifah. Pasca
runtuhnya khilafah, ummat Islam tidak lagi hidup dalam sebuah negara
tetapi terpecah di berbagai negara. Kondisi ini menyebabkan banyak
sekali ummat Islam yang tidak setuju dengan ide penegakan Syariah &
Khilafah kembali dan lebih memilih hidup di negara mereka tinggal saat
ini.
Namun
tegaknya kembali Khilafah yang berdasarkan manhaj Nubuwah itu diyakini
oleh sebagian ummat Islam saat ini. Mereka meyakini bahwa bangkitnya
kembali Khilafah adalah pasti karena merupakan janji Allah dan kabar
gembira dari Rasul-Nya. Mereka berpendapat Khilafah Rasyidah 'ala
Minhajin Nubuwah pasti akan tegak menuju akhir zaman, bersamanya pula
akan turun Imam Mahdi dan Al Masih Isa untuk melawan dajjal. Munculnya
Imam Mahdi sebagai pemimpin terakhir ummat Islam akhir zaman ini
diyakini oleh hampir seluruh ummat Islam, akan tetapi bakal seperti apa
terjadinya salah satu tanda akhir zaman ini tidak banyak yang tahu.
Pada tahun 1920-an "gerakan Khilafat", sebuah gerakan yang bertujuan
untuk mendirikan kembali kekhalifahan, menyebar diseluruh daerah jajahan
Inggris di Asia. Gerakan ini sangat kuat di India, yang saat itu
menjadi pusat komunitas Islam. Sebuah pertemuan kemudian diadakan di
Kairo pada tahun 1926 untuk mendiskusikan pendirian Kekhalifahan. Tapi
sebagian besar negara mayoritas Muslim tidak berpartisipasi dan
mengambil langkah untuk mengimplentasikan hasil dari pertemuan ini.
Meskipun gelar Amir al-Mukmin dipakai oleh Raja Maroko dan Mullah
Mohammed Omar, pemimpin rezim Taliban di Afganistan, kebanyakan Muslim
di luar daerah kekuasaan mereka menolak untuk mengakuinya.
Salah satu organisasi yang memiliki concern dalam usaha mengembalikan
Khilafah adalah Hizbut Tahrir. Organisasi ini didirikan pada tahun 1953
oleh Syaikh Taqiyuddin an Nabhani di Palestina. Saat ini Hizbut Tahrir
masih berdiri dan berhasil menyebar hingga ke berbagai negara.
Pada
tahun 2014 sebuah gerakan dari wilayah Timur Tengah, tepatnya di
wilayah Syams (Irak dan Suriah) mendeklarasikan berdirinya Khilafah
Islamiyah yang oleh sebagian orang dinamakan sebagai ISIS (Islamic State
of Iraq and Suriah). ISIS dianggap memiliki unsur-unsur dari sebuah
negara, hanya saja oleh sebagian besar ummat Islam sendiri pembentukan
Khilafah itu masih dianggap sebagai klaim sepihak dari ISIS, sehingga
tidak menarik perhatian kebanyakan ummat Islam untuk bergabung ke dalam
ISIS.
Referensi
- ^ Omar Hossino. Classical Islamic Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations, 2006.
- ^ Omar Hossino (2006). "Classical Islamic Views on Human Nature, Political Authority, and International Relations". Unpublished.
- Arnold, T. W. (1993). "Khalīfa". In Houtsma, M. Th. E.J. Brill's First Encyclopaedia of Islam, 1913–1936. Volume IV. Leiden: BRILL. hlm. 881–885. ISBN 978-90-04-09790-2. Diakses 2010-07-23.
- Crone, Patricia, and Martin Hinds. God's Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam. Cambridge: Cambridge University Press, 1986. ISBN 0-521-32185-9.
- Donner, Fred. The Early Islamic Conquests. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1981. ISBN 0-691-05327-8.
Artikel ini bersumber dari Wikipedia dengan sedikit edit.
(Muhammad Andi Chaerudin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar